#Attribution1 { height:0px; visibility:hidden; display:none }

MAKALAH KELOMPOK 1 : PENGERTIAN AGAMA DAN PENDEKATAN-PENDEKATANNYA



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Agama
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskertaāgamayang berarti "tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah “religi yang berasal dari bahasa Latin (religio) dan berakar pada kata kerja re-ligare yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan ber-religi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa kata agama berasal dari bahasa Sanskerta
yang dipenggal: "a" berarti tidak; "gama" berarti kacau. Sehingga agama berarti tidak kacau. Atau dapat diartikan sebagai suatu peraturan yang bertujuan untuk mencapai kehidupan manusia ke arah dan tujuan tertentu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “agamaadalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia
dan manusia serta lingkungannya.
Dilihat dari sudut pandang kebudayaan, agama dapat berarti sebagai hasil dari suatu kebudayaan. Dengan kata lain, agama diciptakan oleh manusia dengan akal budinya serta dengan adanya kemajuan dan perkembangan budaya tersebut serta peradabannya. Bentuk penyembahan Tuhan terhadap umatnya seperti pujian, tarian, mantra, nyanyian dan yang lainya, itu termasuk unsur kebudayaan.  Sehingga pada sudut pandang dari pengertian Agama yang ini, semakin maju peradaban manusia maka agama juga akan mengalami kemajuanya.
Sedangkan jika dilihat dari sudut pandang sosiologi, agama adalah salah satu tindakan pada suatu sistem kemasyarakatan (sosial) yang terdapat pada diri seseorang tentang kepercayaan terhadap kekuatan tertentu (magis atau spiritual) serta berfungsi untuk perlindungan dirinya dan orang lain.
Menurut istilah, agama adalah seperangkat aturan dan peraturan  yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.
Bagi para penganutnya, agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak tentang eksistensi manusia dan petunjuk-petunjuk untuk hidup selamat di dunia dan di akhirat. Karena itu pula agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sistem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi pendorong serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota masyarakat tersebut untuk tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai kebudayaan dan ajaran-ajaran agamanya.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah, mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.
Adapun sumber terjadinya agama dibedakan menjadi dua kategori, yaitu:
1.      Agama samawi, atau agama dari langit, yang diperoleh melalui Wahyu Ilahi (Islam, Nasrani, Yahudi).
2.      Agama Wa'I, atau disebut juga agama bumi, yaitu agama budaya yang timbul akibat kekuatan didalam pikiran atau akal budi seseorang atau masyarakat (Hindu, Buddha, Konghuchu, dan aliran agama atau kepercayaan lainya).
Dalam sebuah riwayat dikisahkan pada suatu ketika ada seorang laki laki bertanya kepada Rasulullah Saw. Di hadapannya ia bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah Saw. bersabda, “Akhlak yang baik”. Kemudian ia mendatangi Nabi dari sebelah kanan dan bertanya, “Ya Rasulullah apakah agama itu?” Nabi pun menjawab, “Akhlak yang baik”. Kemudian ia kembali mendatangi Nabi dari sebelah kiri dan kembali bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah Saw. bersabda, “Akhlak yang baik”. Kemudian ia mendatangi Nabi dari belakang dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah SWA kemudian menoleh kepadanya dan berkata, “Belum jugakah engkau mengerti? Agama itu akhlak yang baik. Misalnya, engkau tidak marah.” (Al-Targhib wa Al-Tarhib 3:405)
B.     Pengertian Islam
Perkataan Islam berasal dari bahasa Arab yaitu  aslama, yuslimu, islaman yang berarti tunduk, patuh, sejahtera serta damai. Agama Islam adalah agama yang mentauhidkan Allah sejak nabi Adam. as hingga nabi terakhir Muhammad Saw. Namun yang membedakan antara nabi yang satu dengan lainnya hanyalah segi syariat semata.
Umat Islam percaya bahwa semua makhluk yang berada di alam ciptaan Allah ini selalu patuh dan tunduk pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. Semua makhluk tersebut, juga para malaikat dan Jin mengakui agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah, kecuali Iblis dan sebahagian dari Jin yang ingkar kepada perintah Allah Swt. Umat Islam juga percaya Nabi Muhammad  Saw, diutuskan oleh Allah untuk menyempurnakan syariat yang terdahulu dengan turunnya Quran sebagai panduan dan petunjuk.
Islam merupakan sebuah ajaran yang diturunkan oleh Allah Swt., pencipta sekalian alam, melalui Nabi Muhammad Saw, 1400 tahun yang dahulu. Dengan agama inilah Allah menutup agama-agama sebelumnya. Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya. Dengan agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat atas mereka. Allah hanya meridhai Islam sebagai agama yang harus mereka peluk. Oleh karena itu, tidak ada suatu agama pun yang diterima selain Islam.
 Perkataan Islam membawa maksud yang benar dan suci. Penganut Agama Islam digelar Muslim yang membawa maksud orang yang mempercayai dan mengikuti jalan yang lurus. Agama Islam diturunkan oleh Allah Swt. kepada sekalian manusia; yang lahir dan hidup dari zaman Rasulullah Saw. dan sehingga ke hari Kiamat. Allah Swt. berfirman:
فَاعْبُدُونِ رَبُّكُمْ وَأَنَا وَاحِدَةً أُمَّةً أُمَّتُكُمْ هَذِهِ إِنَّ
Artinya:Sesungguhnya (agama Tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (Al-Anbiyaa: 92)
Agama Islam adalah ajaran yang mencakup akidah (keyakinan) dan syariat (hukum). Islam adalah ajaran yang sempurna, baik ditinjau dari sisi aqidah maupun syariat-syariat yang diajarkannya: Islam memerintahkan untuk mentauhidkan Allah ta’ala dan melarang kesyirikan. Islam memerintahkan untuk berbuat jujur dan melarang dusta. Islam memerintahkan untuk berbuat adil dan melarang aniaya. Islam memerintahkan untuk menunaikan amanat dan melarang berkhianat. Islam memerintahkan untuk menepati janji dan melarang pelanggaran janji. Islam memerintahkan untuk berbakti kepada kedua orang tua dan melarang perbuatan durhaka kepada mereka. Islam memerintahkan untuk menjalin silaturahim (hubungan kekerabatan yang terputus) dengan sanak famili dan Islam melarang perbuatan memutuskan silaturahim. Islam memerintahkan untuk berhubungan baik dengan tetangga dan melarang bersikap buruk kepada mereka.
Secara umum dapat dikatakan bahwasanya Islam memerintahkan semua akhlak yang mulia dan melarang akhlak yang rendah dan hina. Islam memerintahkan segala macam amal salih dan melarang segala amal yang jelek

C.     Pendekatan dalam Memahami Islam
Dewasa ini kehadiran agama (Islam) semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Selama ini agama hanya dijadikan sebatas lambang kesalehan seseorang atau sekedar isi dalam penyampaian khutbah. Padahal sesungguhnya secara konsepsional Islam menunjukan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan dan menyelesaikan berbagai persoalan menyangkut kehidupan duniawi dan akhirat.
Tentunya dibutuhkan berbagai metode dan pendekatan khusus dalam memahami suatu persoalan secara pandangan agama untuk penuntasannya. Metode dan pendekatan itu juga dihasilkan dari kajian-kajian Islam yang dilakukan secara berkesinambungan oleh kalangan tokoh dan ulama sesuai dengan konteks jamannya.
Apalagi selaku muslim yang meyakini ketauhidan Allah dalam Islam, maka kita juga yakin bahwa Islam merupakan sumber dari segala pengetahuan yang di dalamnya memberikan berbagai pencerahan. Sungguh tidak ada permasalahan dalam kehidupan ini yang terlewatkan dalam pembahasan agama, semuanya sudah dijelaskan dalam kitab suci umat Islam yaitu Al-Qur’an.
Hal tersebut perlu diyakini karena melalui pendekatan kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya. Sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit dipahami oleh masyarakat.
Berbagai pendekatan tersebut meliputi pendekatan normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, histories, kebudayaan dan peradaban. Dalam hubungan ini Jalaluddin Rahmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma. Realitas keagamaan yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya, karenanya tidak ada persoalan apakah penelitian agama itu penilitian social, penelitian legalistic atau penelitian folisofis. (Abuddin Nata, 2008, hal. 28)
Sebagai sumber Islam adalah agama yang sempurna dengan Al-Qur’an sebagai petujuk (pegangan) yang di dalamnya terkandung berbagai sumber ilmu pengetahuan. Dengan beragam pengetahuan tersebut, maka manusia dapat mengetahui dan menjalankan kehidupan diatas bumi dengan baik dan sempurna.
Dengan Quran sebagai pedoman, islam memberikan petunjuk tentang aqidah kepada dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia dan tersimpul dalam keimanan dalam keesaan Tuhan. Juga sebagai petunjuk mengenai ahklak yang murni dengan jalan menerangkan norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalamkehidupan, baik secara individual maupun kolektif. Serta petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar hokum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesamanya. (Hery Noer Aly, 1999, hal.33)
Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ (17) ayat 9:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang lebih Lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min
yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.”
(
Q.S. Al-Isra’: 9)



1.       Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan dan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.. Amin Abdullah mengatakan, bahwa teologi, sebagai mana kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu pada agama tetentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi dan penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teoligis.
Dari pemikiran tersebut, dapat diketahui bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya sebagai salah.
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendektan teologis dalam memahami agama menggunakan cara berfikir deduktif, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Pendekatan teologis ini selanjutnya erat kaitanya dengan pendekatan normatif, yaitu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan yang asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Dalam pendekatan teologis ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari tuhan, tidak ada kekurangan sedikitpun dan tampak bersikap ideal.
Dalam perkembangan studi Islam, pada umumya masyarakat berharap keberadaan lembaga-lembaga pendidikan islam memenuhi dua harapan. Pertama adanya kemajuan dalam bidang keilmuan baik dalam pengajaran, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan agama islam serta pengabdian masyarakat.
Kedua harapan yang terkait erat dengan bidang keagamaan, harapan ini memiliki dasar pemikiran, motivasi dan tujuan yang berbeda dengan harapan yang pertama. Studi keilmuan (historisitas) menggadaikan perlunya pendekatan kritis, analitis, empiris dan histories. Sedangkan studi keagamaan (normatifitas) lebih menuntut untuk menonjolkan sikap pemihakan, idealitas, norma, bahkan sering kali diwarnai pembelaan yang bercorak apologis.
Secara sederhana Islam dilihat dari segi normatif adalah islam yang merupakan agama yang tidak dapat diberlakukan padanya paradigma ilmu pengetahuan yaitu paradigma analisis, kritis, metodelogis, histories dan empiris. Sedangkan jika dilihat dari segi histories (non-normatif) islam yang dimaksud adalah ilam yang praktekkan oleh manusia serta tumbuh dan berklembang dalam sejarah kehidupan manusia.

2.      Pendekatan Antropologis
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan bagai slah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktis keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan antropologis dapat terlihat hubungan antara agama dan berbagai masalah kehidupan manusia seperti ekonomi,etos kerja, dan lain-lain. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi oleh manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Antropologi dalam kaitan ini bagaimana dikatakan oleh Dawan Rahadjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. (Abuddin Nata, 2008, hal. 35)
Melalui pendekatan antrolpologis sebagaimana tersebut diatas terlihat dengan jelas hubungan agama dengan berbagai masalah kehidupan manusia, dan dengan itu pula agama terlihat akrab dan fungsional dengan berbagai fenomena kehidupan manusia. Pendekatan antropologis seperti itu di perlukan adanya, sebab banyak berbagai hal yang dibicarakan agama hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis.

3.      Pendekatan Sosiologis
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaannya, keyakinan yang member sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam setiap persekutuan hidup manusia.
Dari beberapa peryataan diatas terlihat bahwa sosiologi adalah Ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang paling berkaitan. Dengan ilmu ini fenomena sosila dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsial dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dengan melaksanakan tugasnya nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama.
Dalam bukunya berjudul “Islam Alternatif”, Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam terhadap masalah sosial dengan mengajukan lima alas an sebagai berikut:
Pertama, dalam Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialahn adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dukerjakan sebagaimana mestinya. Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lebih besar dari pada ibadah yang bersifat perorangan.  Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial. Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar dari pada ibadah sunnah.
Agama tidak hanya membahas tentang ibadah saja, namun juga masalah sosial. Di dalam al qur’an dan Hadits dapat ditemui ayat-ayat yang membahas masalah sosial (muamalah). Dengan menggunakan pendekatan sosial maka akan mempermudah dalam memahami agama.

4.      Pendekatan Filosofis
Secara harfiah, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani, (philo dan sophia) yang berarti love of wisdom, yakni cinta kepada kebijaksanaan (kebenaran). Filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti, hakikat, substansi, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formalnya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas, dan inti yang terdapat dibalik sifat lahiriyah.
Berfikir secara filosofis tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan maksud agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara saksama. Pendekatan filosofis yang demikian itu sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh para ahli. Contohnya, buku yang berjudul “Hikmah Al-Tasyri’ wa Falsafatuhu” yang ditulis oleh Muhammad Al-Jurjawi. Dalam buku tersebut Al-Jurjawi berupaya mengungkapkan hikmah yang terdapat di balik ajaran-ajaran agama Islam.
Melalui pendekatan filosofis ini seseorang tidak akan akan terjebak pada pengamalam agama yang bersifat formalistic, yakni mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apapun. Yang mereka dapatkan dari pengamalan agama tersebut hanyalah pengakuan formalistik, misalnya sudah haji, dan berhenti sampai disitu. Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami dalam ajaran agamanya. Namun, pendekatan seperti ini masih belum diterima secara merata terutama oleh kaum tradisionalis formalistik yang cendrung memahami agama terbatas pada ketepatan melaksanakan aturan-aturan formalistik dari pengamalan agama.
5.      Pendekatan Historis
Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu obyek, latar belakang dan prilaku dan peristiwa tersebut. Pendekatan historis digunakan untuk membahas berbagai peristiwa yang terjadi pada zaman dahulu tentang dimana, kapan, siapa dan apa saja yang melatarbelakangi terjadinya suatu peristiwa. Sehingga dapat diketahui hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa itu.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkrit bahkan berkaitan dengan sosial kemasyarakatan. Dalam hubungan ini Kuntowijoyo telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam menurut pendekatan sejarah.
 Melalui pendekatan ini seseorang diajak untuk masuk ke dalam keadaan yang sebenarnya yang berkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan memahami agama keluar dari konteks historisnya, karena pemahaman demikian itu akan menyesatkan orang-orang yang memahaminya.
Seseorang yang ingin memahami Al-Qur’an secara benar, misalnya,, yang bersangkutan harus mempelajari sejarah turunnya Al-Qur’an atau sejarah-sejarah yang mengiringi turunnya Al-Qur’an–yang selanjutnya disebut sebagai ilmu Asbabun-Nuzul –yang pada intinya berisi sejarah turunnya ayat Al-Qur’an. Dengan ilmu Asbabu-Nuzul ini seseoarang akan dapat mengetahui hikmah yang terkandung dalam suatu ayat yang berkenaan dengan hukum tertentu dan ditujukan untuk memelihara syariat dari kekeliruan memahaminya.

6.      Pendekatan Kebudayaan
Budaya merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kebudayaan di artikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu termasuk hasul kebudayaan.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat dipergunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris yang menggejala di masyarakat. Pengalaman agama yang ada di masyarakat tersebut diproses dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran. Misalnya kita membaca kitab fiqih, maka fiqih yang merupakan pelaksana dari nash al-Qur’an maupun hadits sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan unsur manusia. Dengan demikian, agama menjadi kebudayaan atau membumi di tengah-tengah masyarakat.

7.      Pendekatan Psikologis
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiyah Daradjat perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya  (Abuddin Nata, 2007, hlm. 50)
Dalam ajaran agama banyak kita jumpai istilah-istilah yang menggambarkan sikap batin seseorang. Misalnya, sikap beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt., sebagai orang yang shaleh, orang yang berbuat baik, orang yang jujur, dan sebagainya. Semua itu adalah gejala-gejala kejiwaan yang berkaitan dengan agama.
Dalam ilmu jiwa ini seseorang selain akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama kedalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan usianya. Dengan ilmu ini, akan ditemukan cara yang tepat dan cocok untuk menanamkan agama ke dalam diri seseorang.
Dengan demikian ilmu psikologi dapat digunakan untuk menjelaskan gejala dan perilaku keagamaan seseorang. Dengan berbagai pendekatan tersebut akan menuju pada satu tujuan yang sama yaitu pemahaman tentang agama yang sesungguhnya.

This entry was posted on Monday, November 25, 2013 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. You can leave a response.

Leave a Reply

Powered by Blogger.